Selasa, 26 Mei 2009

Prinsip sifat mengikatnya suatu Perjanjian/Kontrak
dalam hal terjadi Perubahan Keadaan
menurut

Klausula Rebus sic stantibus (Hukum Kanoniek), Klausula
Kepatutan (KUHPdt)dan Klausula Hardship (UNIDROIT)

Tidaklah afdol jika kita membahas Hukum Kontrak apabila tidak dimulai dari pembahasan mengenai asas kebebasan berkontrak ( contracs vrijheid atau party autonomie ); yang merupakan tiang pokok bangunan Hukum Perdata dibidang Hukum Perikatan.

Dan asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUHPdt yang jika kita analisa terdiri dari 3 asas utama yaitu Asas konsensulisme ( terjadinya perjanjian cukup dengan adanya persetujuan kehendak para pihak), Asas kekuatan mengikat dari perjanjian ( perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya ) dan Asas kebebasan berkontrak ( para pihak bebas menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian.

Dalam perjalanan waktu terhadap asas kebebasan berkontrak ini dipandang perlu untuk diadakan pembatasan terhadap batas-batas kebebasannya; oleh karena manusia disamping sebagai mahluk individu, dia merupakan mahluk sosial dan keberadaan hukum tidak hanya untuk melindungi kepentingan individu namun juga kepentingan masyarakat.

Dalam artikel ini penulis akan mengulas mengenai sifat mengikat suatu perjanjian dalam rangka pelaksanaan perjanjian apabila terjadi suatu perubahan keadaan. Suatu perubahan keadaan yang menyebabkan debitur berada dalam kesulitan untuk memenuhi prestasi yang diwajibkan dalam perjanjian yang dibuatnya, dan hal tersebut bukanlah suatu keadaan memaksa ( overmacht/force majeure ).

Agar lebih memudahkan pembahasan selanjutnya, maka terlebih dahulu penulis memberikan sedikit gambaran perbedaan antara Keadaan Memaksa ( Force majeure ) dan Perubahan Keadaan.

Pada Keadaan Memaksa keadaan yang berubah itu membuat tidak mungkinnya atau terhalangnya pemenuhan prestasi; sedangkan pada Perubahan Keadaan, berubahnya keadaan menimbulkan keberatan untuk memenuhi perjanjian, karena apabila itu dipenuhi, maka salah satu pihak akan menderita kerugian.

Dan apabila dianalisa lebih lanjut maka pada Keadaan Memaksa pemenuhan prestasi oleh debitur praktis menimbulkan keberatan, sebaliknya pada Perubahan Keadaan, pemenuhan prestasi dari debitur adalah sangat berat dilaksanakan.
Dari analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa dam keadaan memaksa titik beratnya terletak pada posisi debitur yaitu debitur terhalang untuk memenuhi prestasi; sedangkan dalam prubahan keadaan titik beratnya terletak pada posisi kreditur apakah pihak kreditur berdasarkan itikad baik dan kepatutan dapat menuntut pemenuhan prestasi dari debitur.

Semenjak abad petengahan pihak dalam perjanjian tidak mau dirugikan oleh terjadinya suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, sehingga pihak tersebut berlindung pada janji gugur secara diam-diam yang disebut sebagai klausula Rebus sic stantibus.
Klausula ini menyatakan bahwa perjanjian dianggap berlaku secara tetap selama keadaan tidak berubah dan kalau keadaan berubah maka perjanjian menjadi gugur.

Jadi dalam klausula ini tidak dibedakan apakah ketidak-dapatan pemenuhan prestasi diakibatkan oleh keadaan memaksa atau sekedar perubahan keadaan; sehingga di masa itu pihak debitur begitu mengalami suatu perubahan keadaan dapat berlindung pada janji gugur; ini berarti perjanjian menjadi batal demi hukum dengan adanya perubahan keadaan.

Dalam perkembangannya Klausula Rebus sic Stantibus mulai ditinggalkan dan masyarakat mulai membedakan antara keadaan memaksa dan perubahan keadaan, sehingga dalam pasal 1245 KUHPdt sebagai suatu alasan pembenar ( rechtvaardigingsgrond) bagi Debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannya/prestasinya, dengan alasan bahwa akan bertentangan dengan kepatutan jika debitur dalam keadaan seperti itu tetap diwajibkan memenuhi prestasinya yang sebenarnya tidak dapat ia laksanakan.

Namun sejak tahun 1915 keputusan-keputusan Hakim sudah mulai meninggalkan force majuere / overmacht untuk menyelesaikan hal-hal mengenai perubahan keadaan dan telah mempergunakan pasal 1338 ayat 3 KUHPdt sebagai pedoman.

Hal ini dipelopori oleh Levebach dengan teorinya “economies synallagma” yang artinya harus adanya keseimbangan antara kedua belah pihak dalam pengertian ekonominya, jadi antara prestasi dan kontra prestasi secara timbal balik adalah seimbang nilainya dan apabila terjadi ketegangan yang secara obyektif merugikan atau menguntungkan salah satu pihak, hal ini merupakan resiko yang harus dipikulnya. Sehingga dengan demikian dalam hal terjadi perubahan keadaan perlulah diperhatikan pembagian resiko antara para pihak terhadap suatu
kerugian.

Perkembangan di Indonesia terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 April 1955 mengenai Sengketa Kebon Kopi, yang singkatnya berbunyi : Adalah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan, apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak masing-masing memikul separo dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu.
Jadi menurut Yurisprudensi di Indonesia resiko atas perubahan keadaan sesuai dengan rasa keadilan dan kepantasan ( kepatutan) adalah dibagi dua.

Selanjutnya perkembangan dunia komersial pada abad 21 ini membawa perubahan pula terhadap aturan-aturan mnegnai sifat mengikatnya suatu perjanjian dalam rangka pelaksanaan perjanjian apabila terjadi perubahan keadaan telah diatur secara tersendiri diluar ketentuan tentang Keadaan Memaksa (Force Majeure) sebagaimana terlihat dalam Prinsip-prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT.

Dalam Bab Pelaksanaan Kontrak pasal 6.2.1 Unidroit diatur bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak ( becomes more onerous for one of the parties), pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya (that party is nevertheless bound to perform its obligations) dengan tunduk pada ketentuan tentang kesulitan.
Ketentuan pasal ini adalah untuk menghormati ketentuan pasal 1.3 mengenai prinsip umum sifat mengikat suatu kontrak ( A contract validity entered into is binding upon the parties…), namun ketentuan sifat mengikatnya suatu kontrak dalam UNIDROIT juga tidak bersifat mutlak, yaitu apabila ada perubahan fundamental atas keseimbangan dari kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan dan merupakan prinsip-prinsip yang diatur dalam Klausula Hardship ( Klausula Kesulitan).

Definisi Kesulitan (Hardship) adalah peristiwa yang secara fundamental telah mengubah kesimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu :

  • peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan konrak;
  • peristiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak;
  • peristiwa terjadi diluar kontrol dari pihak yang dirugikan;
  • resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.

 

Menurut prinsip hukum modern adanya perubahan keadaan tidak mempengaruhi kewajiban pelaksanaan kontrak ( lihat Pasal 6.2.1 UNIDROIT ). Oleh karena itu adanya kesulitan (hardship) tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak, kecuali perubahan itu bersifat fundamental.
Catatan penulis : kategori suatu perubahan disebut perubahan biasa atau sebagai suatu perubahan fundamental; harus ditafsirkan secara kasus per kasus, oleh karena UNIDROIT sendiri hanya mengatur indikator suatu perubahan yang bersifat fundamental yaitu adanya kenaikan ongkos pelaksanaan kontrak dan menurunnya nilai pelaksanaan kontrak.

Akibat hukum apabila terjadi Kesulitan (Hardship), maka sesuai pasal 6.2.3 :

  1. Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus segera diajukan dengan menunjukkan dasar-dasarnya.
  2. Permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak.
  3. Apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke Pengadilan.
  4. Apabila pengadilan membuktikan adanya kesulitan ( hardship) maka pengadilan dapat memutuskan untuk : Mengakhiri kontrak pada tanggal dan atas syarat-syarat yang ditetapkan secara pasti ( terminate a contract at a date and on terms to be fixed); Mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya.

KEBANGKITAN KAUM PEKERJA INDONESIA

KEBANGKITAN KAUM PEKERJA INDONESIA

MUNGKINKAH  ?

 

Sejarah Kebangkitan Bangsa.

            Kebangkitan nasional adalah masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun. Masa ini diawali dengan dua peristiwa penting Boedi Oetomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli.

Periode Kebangkitan Nasional dari yang satu ke yang lain tidak sama. Yang terpendek adalah 17 tahun, dan yang terpanjang adalah 32 tahun dengan rata-rata 24 tahun atau kira-kira 1 generasi. Tentu menarik untuk menganalisis mengapa Orde Baru dapat bertahan paling lama dan mengapa periode kebangkitan nasional sebelum kemerdekaan cenderung memendek. Orde Baru bertahan 32 tahun karena kuncinya pada “kestabilan politik”, sedangkan selama reformasi mulai 1998 Presiden (dan kabinet) hanya bertahan rata-rata kurang dari 20 bulan, dan pada tahun-tahun awal kemerdekaan hanya 12 bulan. Dari ke-6 periode “kebangkitan nasional”, kebangkitan nasional ke-2 yaitu Boedi Oetomo (1908) dan ke-3 yaitu Sumpah Pemuda (1928) adalah paling erat keterkaitannya, bahkan orang biasanya menganggap keduanya merupakan 1 mata rantai yang runtut berurutan. BO yang sebenarnya merupakan kelahiran gerakan politik paling awal terpaksa “disembunyikan” oleh tokoh-tokoh pimpinannya sebagai gerakan sosial-budaya supaya rapat-rapatnya memperoleh ijin dari pemerintah penjajahBisa dipahami bahwa Manifesto Politik ini menjadi dasar Sumpah Pemuda 1928 yang selengkapnya adalah sebagai berikut:

Satu     : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia.

 Dua     : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Tiga      : Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun kemudian berhasil digugah dan digelorakan dalam berbagai tahap kebangkitan nasional terutama tahun-tahun 1908 dan 1928 dengan tokoh-tokohnya Sutomo, Gunawan, dan Tjipto Mangunkusumo, disusul pendirian National Indische Partij oleh dr. Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), dan dr. Dowes Dekker. Tahun 1912 Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (Solo), KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah (Yogyakarta) dan Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera di Magelang, semuanya bertekad “mengusir penjajah” dari Indonesia dengan cara berbeda-beda di bidang politik, ekonomi, dan pendidikan.

(IDING.SUPRIATNA) "UBHARA"


Perselisihan Hak vs Perselisihan Kepentingan

Perselisihan Hak vs Perselisihan Kepentingan
Dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)

 (International Human Rights and Politics observer, Alumni of Andalas University,Law Faculty, former chairman of students perliament at Andalas University,Law Faculty, Former Executive Officer ILSA Andalas, and Founder Andalas Student Society of Law and Politics, Associate at Kenny Wiston Law Offices)

Sejak diterapkannya UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), dunia perburuhan Indonesia mengenal badan peradilan baru yang khusus menangani sengkete-sengketa hubungan industrial atau sengketa-sengketa perburuhan.

Kasus yang paling sering mengemuka di Pengadilan Hubungan Indistrial (PHI), adalah sengketa perselisihan kepentingan dan sengketa perselisihan hak. Sengketa yang terjadi tidak jarang merupakan hasil kesalahan mengintepretasikan apoa itu perselisihan hak dan apa itu perselisihan kepentingan. Jika kita lihat dalam UU No. 2 tahun 2004 mengenai PPHI pasal 1 angka 2 maka perselisihan hak itu adalah :

Perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dari definisi tersebut, maka jelas bahwa perslisihan hak tibul karena adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran. Yang banyak terjadi adalah perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap perjanjian kerja.

Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan memberikan gaji kepada para karyawannya yang kemudian ditolak oleh para karyawan tersebut dikarenakan oleh masing-masing pihak mempunyai definisi yang berbeda terhadap perjanjian kerja yang telah dibuat, mak sengketa ini termasuk kepada perselisihan hak. Sekarang kita lihat definisi perselisihan kepentingan menurut UU No.2 tahun 2004, tentang PPHI pasal1 angka 3 :

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dari definisi tersebut perselisihan kepentingan terjadi dalam proses pembuatan ataupun perubahan syarat-syarat kerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja. Sebagai contoh, jika perusahaan merubah isi dari perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan dari karyawan, maka itu termasuk ke dalam rejim perselisihan kepentingan.

Banyak dari para pihak terutama dari pihak buruh yang menggunakan surat kuasa insidentil, tidak memahami benar isi kedua ketentuan tersebut. Hal ini yang menyebabkan mereka sering tertukar antara perselisihan hak atau perselisihan kepentingan.

Permasalahan yang kemudian timbul selain dari kesalahan intepretasi terhadap Undang-Undang, adalah perbedaan perlakukan yang ditunjukkan oleh badan peradilan hubungan industrial, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI pasal 56. Pasal tersebut menyebutkan:

Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:

a.       di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;

b.      di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;

c.       di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;

d.      di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Pihak yang menggunakan surat kuasa insidentil lebih banyak memaksakan bahwa suatu perselisihan adalah perselisihan kepentingan walaupun sebenarnya perselisihan tersebut adalah perselisihan hak. Hal ini dikarenakan oleh kewenangan PHI untuk memutus suatu perkara perselisihan kepentingan untuk tingkat pertama dan terakhir.

Pihak yang menggunakan surat kuasa insidentil tersebut lebih memilih perselisihan kepentingan karena hemat dari segi pendanaan dan putusan yang diharapkan lebih memihak kepada mereka, tidak dapat diajukan ke tingkat kasasi yang akhirnya secara tidak langsung biaya yang dikeluarkan pun tidak banyak.

Lain halnya jika mereka menggunakan perselisihan hak, selain putusan yang belum tentu memihak kepada mereka, pihak lawan pun dapat mengajukan kasasi. Jika ini dilakukan, maka biaya yang dikeluarkan akan berlipat ganda, bahkan tidak menutup kemungkinan akan memakan biaya lebih besar dari itu.

Sampai kapan pun juga, jika hal ini tidak diantisipasi antara lain dengan revisi UU, maka akan banyak kita temui perbedaan intepretasi mengenai perselisihan hak dan perselisihan kepentingan di dalam PHI.



(Iding.Supriatna) UBHARA

GUGURNYA HAK MENUNTUT

GUGURNYA HAK MENUNTUT

 

Lewat tulisan ini saya sekedar ingin mengangkat suatu masalah yang belum begitu diketahui apalagi di pahami oleh sebagian besar masyarakat tentang apa yang di sebut dengan Gugurnya Hak Menuntut.

Sebelum membahas lebih jauh apa itu Gugurnya Hak menuntut lebih baik saya menjelaskan bahwa istilah Gugurnya Hak Menuntut adalah hapusnya kewenangan menuntut pidana sesuai yang diatur pada pasal 76 Bab. VIII KUHP.

Ada beberapa alasan Gugurnya Hak Menuntut menurut KUHP ialah sebagai berikut :

  1. Adanya azas yang melarang seseorang untuk di adili dan di hukum untuk kedua kalinya bagi kejahatan yang sama (NE BIS IN IDEM).
  2. Terdakwa/Tersangka meninggal dunia.
  3. Lampaunya tenggang waktu yang ditetapkan Undang-undang (Daluarsa).
  4. Adanya penyelesaian diluar persidangan.

 

Istilah gugurnya hak menuntut tidak hanya diatur dalam KUHP saja tetapi diatur dalam pasal 1917 KUHPer yang berbunyi ”Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak atau hukuman tetap”.

Tetapi saya sebagai penulis Cuma ingin menyempitkan pembicaraan tentang Gugurnya Hak Menuntut dalam lingkup si terdakwa meninggal dunia.

 

Apakah orang yang terdakwa meninggal dunia gugur atas tuntutan hukumannya? Jelas orang yang terdakwa meninggal dunia bebas atas tuntutan/dakwaannya  karena dalam KUHP pasal 77 mengatakan bahwa ” Hak menuntut hilang oleh karena meninggalnya si tersangka”

Jadi hak penuntut hukuman harus di tujukan kepada dirinya si terdakwa dan tidak bisa di alihkan kepada ahli warisnya.

Contoh Kasus

Sudi Ahmad, salah seorang terdakwa kasus penyuapan Mahkamah Agung yang ditahan di Polda Metro Jaya, meninggal dunia. Sebelumnya, dia mengeluhkan sidang perkaranya yang terkatung-katung gara-gara hakimnya berseteru. Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi itu mengembuskan napas terakhir di RS Soekanto Bhayangkara, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dia dilarikan ke rumah sakit itu Jumat (19/5) pukul 18.00 karena sakit hernia. Sejak saat itu, staf Korpri unit MA tersebut dirawat secara intensif. Sebenarnya, terdakwa akan dioperasi, namun keburu meninggal dunia, kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Suyati, istri Sudi Ahmad, mengungkapkan, sejak Sabtu (20/5), perut suaminya membesar dan kembung. Penyakit suaminya itu sudah lama terjadi dan sering kambuh. Kami dapat menerima kematian Bapak. Ini sudah menjadi nasib Pak Sudi, ungkap ibu dari Farah Azri dan Dandi Akbar Darmawan itu sambil menangis. Jenazah Sudi diberangkatkan ke pemakaman Pondok Kelapa sekitar pukul 13.00 dari rumah kakak laki-lakinya, Nazirin, di Jalan Gandria, RT 07, RW 07, Kemayoran. Sudi adalah salah seorang di antara empat karyawan MA yang didakwa menerima suap dari Harini Wijoso, penasihat hukum Probosutedjo. Uang itu disebut-sebut akan diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan untuk membebaskan Probo dari hukuman korupsi dana reboisasi di tingkat kasasi. Kasusnya masih diproses di pengadilan. Kasus itu beberapa kali memicu pro-kontra mengenai pemeriksaan Bagir Manan, ketua majelis hakim kasasi perkara Probo. Terakhir, tiga hakim yang mengadili Harini walk out untuk memprotes ketua majelis yang tidak mau menghadirkan Bagir sebagai saksi ke sidang. Dua sidang kasus penyuapan itu selanjutnya terkatung-katung hingga kini. Mestinya, Rabu (24/5) jaksa penuntut umum akan membacakan tuntutan terhadap Sudi. Karena dia meninggal, KPK akan meminta majelis hakim yang mengadili perkaranya untuk menggugurkan tuntutan. Perkaranya gugur demi hukum. Sesuai pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak berhak mengeluarkan surat penghentian penyidikan maupun penuntutan. Yang berhak adalah majelis hakim karena perkara sudah bergulir ke pengadilan. (ein) Sumber: Jawa Pos, 23 Mei 2006

 

Kalu saya mengomentari kasus tersebut diatas bahwa terdakwa Sudi Ahmad tentang kasus penyupan gugur demi hukum karena Sudi sebagai terdakwa sudah meninggal dunia. Tetapi kalau kasus tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang maka prosesnya jalan terus, karena si terdakwa lainnya masih hidup, tetapi sebaliknya kalau semua terdakwa meninggal maka kasus tersebut ditutup karena batal demi hukum. Dengan gugurnya tuntutan tersebut Majelis Hakim harus membatalkan tuntutan dari jaksa penuntut dengan mengeluarkan NO (Niet Ontvankelijk Verklaard). Iding."UBHARA"